- Cerita Menyedihkan Berumah Tangga

LETAKKAN KODE ADSENSE YANG SUDAH DI PARSE DI SINI


Berikut kisah atau kisah sedih yang sanggup memotivasi Anda dalam menjalani kehidupan berumah tangga, Kisah mengharukan atau kisah sedih ini perihal perjalanan cinta seorang istri yang tak pernah menyayangi suaminya selama 10 tahun perjalanan pernikahannya hingga sang Suami meninggal dunia, dan karenanya ia menyadari betapa besar cinta dan kasih sayang yang diberikan sang suami untuknya selama ini, dulu ia menghabiskan sepuluh tahun untuk membenci suaminya, tetapi sesudah Suaminya tiada Ia menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupnya untuk menyayangi sang Suami.
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, saya tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah alasannya ialah paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, saya tak pernah memperlihatkan perilaku benciku. Meskipun membencinya, setiap hari saya melayaninya sebagaimana kiprah istri. Aku terpaksa melaksanakan semuanya alasannya ialah saya tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul cita-cita meninggalkannya tapi saya tak punya kemampuan finansial dan pinjaman siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku alasannya ialah berdasarkan mereka, suamiku ialah sosok suami tepat untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, saya menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya alasannya ialah saya menganggap hal itu sudah seharusnya sesudah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku senang dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, saya selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang berair yang diletakkan di daerah tidur, saya sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, saya benci ketika ia menggunakan komputerku meskipun hanya untuk menuntaskan pekerjaannya. Aku murka kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, saya juga murka kalau ia menggunakan pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, saya murka kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika saya sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya saya menentukan untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi saya tak mau mengurus anak. Awalnya ia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam hingga suatu hari saya lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan gres menyadarinya sesudah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika saya mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melaksanakan tindakan vasektomi semoga saya tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melaksanakan semua keinginanku alasannya ialah saya mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga belum dewasa tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, saya bangun paling akhir. Suami dan belum dewasa sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar belum dewasa ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan insiden tahun sebelumnya, ketika itu saya menentukan ke mal dan tidak hadir di program ibu. Yaah, alasannya ialah merasa terjebak dengan perkawinanku, saya juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga belum dewasa menarik hati ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun karenanya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seolah-olah berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun tetapkan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon ialah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon saya bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan acara kami. Tiba waktunya saya harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya saya ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bab terdalam saya tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan saya menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan saya tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah saya letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, saya mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak usang kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, saya pulang sekarang, saya akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang kini ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir saya menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, saya kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan menyampaikan bahwa suamiku akan tiba membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku bahu-membahu sudah membolehkanku pergi dan menyampaikan saya bisa membayarnya nanti kalau saya kembali lagi. Tapi rasa aib alasannya ialah “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika saya melihat keluar dan berharap kendaraan beroda empat suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, saya semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada balasan meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak yummy dan marah.

Teleponku diangkat sesudah beberapa kali mencoba. Ketika bunyi bentakanku belum lagi keluar, terdengar bunyi abnormal menjawab telepon suamiku. Aku melamun beberapa ketika sebelum bunyi lelaki abnormal itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki abnormal itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan ketika ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu saya hanya melamun dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, saya berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana karenanya saya hingga di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya membisu seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melaksanakan apa alasannya ialah selama ini dialah yang melaksanakan segalanya untukku. Ketika karenanya sesudah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan memberikan gosip itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan alasannya ialah kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, saya malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak bisa membuatku menangis.

Ketika mayat dibawa ke rumah dan saya duduk di hadapannya, saya termangu menatap wajah itu. Kusadari gres kali inilah saya benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami.

Kusentuh perlahan wajahnya yang telah hambar dan kusadari inilah kali pertama kali saya menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap semoga airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, saya ingin mengingat semua bab wajahnya semoga kenangan manis perihal suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak bisa membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa saya tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan sesudah melahirkan. Ia tak pernah bolos mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau saya sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan alasannya ialah saya tak pernah bertanya.

Bahkan saya tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku ialah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, alasannya ialah saya tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant alasannya ialah saya hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk belum dewasa dan diriku sendiri. Aku tak perduli ia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari alasannya ialah dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih akrab ke kantornya alasannya ialah tak mau jauh-jauh dari daerah tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, saya tak bisa menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun hingga terbangun di daerah tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia alasannya ialah mereka tak pernah tahu mengapa saya begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani sesudah kepergiannya bukanlah kebebasan menyerupai yang selama ini kuinginkan tetapi saya malah terjebak di dalam cita-cita untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, saya duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah ketika suamiku membujukku makan kalau saya sedang mengambek dulu. Ketika saya lupa membawa handuk ketika mandi, saya berteriak memanggilnya menyerupai biasa dan ketika malah ibuku yang datang, saya berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali saya tidak bisa melaksanakan sesuatu di rumah, menciptakan sahabat kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam saya menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi saya terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu saya begitu kesal kalau tidur mendengar bunyi dengkurannya, tapi kini saya bahkan sering terbangun alasannya ialah rindu mendengarnya kembali. Dulu saya kesal alasannya ialah ia sering awut-awutan di kamar tidur kami, tetapi kini saya merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu saya begitu kesal kalau ia melaksanakan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, kini saya memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu saya paling tidak suka ia menciptakan kopi tanpa bantalan piring di meja, kini bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus.

Remote televisi yang biasa disembunyikannya, kini dengan gampang kutemukan meski saya berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan alasannya ialah saya gres menyadari bahwa ia mencintaiku dan saya sudah terkena panah cintanya.
Aku juga murka pada diriku sendiri, saya murka alasannya ialah semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku murka alasannya ialah baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku murka alasannya ialah tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku murka alasannya ialah tak ada lagi yang membujukku semoga tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.

Aku sholat alasannya ialah saya ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah alasannya ialah menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun dikarenakan telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang bisa menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah memperlihatkan batang hidung mereka sesudah kepergian suamiku.

Empat puluh hari sesudah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk berdiri dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa gundah merasukiku. Selama ini saya tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini saya tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan eksklusif dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, saya memperoleh honor terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya saya melamun tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal saya tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga alasannya ialah saya tak pernah bertanya sekalipun soal itu.

Yang saya tahu kini saya harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup alasannya ialah jumlah honor terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku tiba bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris menawarkan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak,

ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak bisa berkata apapun ialah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf alasannya ialah harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang.
maaf alasannya ialah harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri.
Maaf alasannya ialah saya tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi.
Allah memberiku waktu yang terlalu singkat alasannya ialah mencintaimu dan belum dewasa ialah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya saya bisa, saya ingin mendampingi sayang selamanya.
Tetapi saya tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja.
Selama ini saya telah menabung bertahap untuk kehidupan kalian nanti.
Aku tak ingin sayang susah sesudah saya pergi.
Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi saya berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja.
Lakukan banyak hal untuk menciptakan hidupmu yang terbuang percuma selama ini.
Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kamu lakukan selama ini.
Maafkan kalau saya menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku.
Maafkan alasannya ialah ayah tak bisa mendampingimu.
Jadilah istri yang baik menyerupai Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku.
Jagalah Ibu dan Farah.
Jangan jadi anak yang bande
l lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. O
ke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi pengecap menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku mempunyai beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku menciptakan beberapa perjuangan dari hasil deposito tabungan tersebut dan perjuangan tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak bisa menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku ketika suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang cowok dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, saya harus bagaimana nanti sesudah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kamu akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kamu akan mencar ilmu menyenangkan hatinya, akan mencar ilmu mendapatkan kekurangannya, akan mencar ilmu bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang menciptakan ibu tetap setia pada ayah hingga sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu menyerupai ayah menyayangi ibu dulu, menyerupai ayah menyayangi kalian berdua. Ibu setia pada ayah alasannya ialah cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung alasannya ialah tak sempat memperlihatkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya alasannya ialah kematian, tapi saya tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Note: Artikel ini berasal dari aneka macam sumber luar milik orang lain, dan maaf saya tak mencantumkan sumbernya dikarenakan telah lupa & tak tahu akan sumber tersebut.
Semoga pahala amal jariah selalu tercurah kepada pemilik orisinil yang sudah bersusah payah lagi nrimo menciptakan artikel ini. Aamiin.
ETAKKAN KODE ADSENSE YANG SUDAH DI PARSE DI SINI